Salah Satu Cafe di Kawasan Sagan |
Ketika salah seorang tokoh asal Jogja bernama Anggito Abimanyu tidak terpilih menjadi Wamen dan memutuskan kembali ke kota asalnya untuk mengajar lagi di almamaternya di UGM, ada suara-suara sumbang yang usil berseloroh, "Udah.. balik aja ke Jogja.. kan enak bisa nyantai.. kota pensiunan.. jam 9 malem udah sepi ngga ada kehidupan..yang ada paling tinggal angkringan doang."
Jogja yang kita kenal sampai era 90-an, memang masih terasa identik dengan nuansa budaya tradisional yang kental. Namun demikian, dengan banyaknya jumlah kampus di seluruh penjuru kota, sesungguhnya perlahan tapi pasti agregat jumlah mahasiswa yang berdatangan dari tahun ke tahun, pada akhirnya tentu juga membawa potensi perubahan yang signifikan.
Apabila kita cermati, fenomena coffee shop.. lounge.. gourmet.. bistro.. brasserie.. apa pun namanya.. memang adalah nuansa yang lekat dengan keseharian kaum muda. Mahasiswa tamu yang berdatangan di Jogja bisa berasal dari kalangan mana saja. Mulai remaja dari sebuah tempat yang terpencil di kepulauan Sumbawa, sampai kota metropolitan seperti Jakarta.. bahkan tidak sedikit ekspatriat yang kini tinggal di beberapa boarding house dengan penjagaan sekuriti 24 jam all-around.
Baciro sebagai kawasan hunian yang mapan sejak tahun 1850-an dengan salah satu fasilitasnya berupa boulevard yang asri di tengah pemukiman.. pada akhirnya juga tak luput menjadi incaran investor untuk mengubahnya menjadi kawasan bisnis seperti Sagan, Kotabaru, Colombo dan Deresan yang memiliki konsep hunian yang hampir sama.
Dari keempat kawasan yang disebut di atas, Baciro memang relatif lebih steril dari dinamika bisnis yang bernuansa entertainment-showbiz seperti cafe atau resto. Walau pun memang warga juga tidak menafikan eksisnya kegiatan perkantoran yang berada di beberapa titik lokasi hunian di Baciro. Namun menimbang akses area public yang dimanfaatkan oleh pihak "tamu" yang dirasa masih dapat ditolerir warga, akhirnya bisa dimengerti kenapa bisnis perkantoran bisa eksis di Baciro, tetapi tidak demikian halnya dengan entertainment-showbiz.
Masih banyak memang sebetulnya PR yang harus dituntaskan warga untuk membuat Baciro menjadi semakin nyaman sebagai daerah hunian ideal dari sedikit kawasan heritage yang masih tersisa di Jogja. Maka ketimbang meng-endorse-nya menjadi sebuah kawasan bisnis, rasanya Pemkot lebih bijaksana untuk mempertahankannya sebagai kawasan hunian yang madani demi menjaga nilai-nilai historis di dalam kawasan cagar budaya ini.
Kekeluargaan juga adalah salah satu kata kunci sampai saat ini bagi warga Baciro untuk mewujudkan lingkungan yang harmoni. Iklim kondusif yang masih terjaga hingga detik ini adalah sebuah bukti kepekaan warga terhadap kondisi sekitarnya. Walau pun sepintas kawasan ini terlihat tenang, sepi dan jauh dari hingar-bingar tapi bukan berarti warga Baciro tidak peduli satu sama lain. Bukan berarti masyarakat Baciro anti terhadap perkembangan jaman, namun lebih karena adanya aspirasi agar kemajuan itu sendiri yang diproyeksikan sesuai proporsinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar